Gambar peta kota-kota di Provinsi Jawa Tengah. |
Oleh M Abdullah Badri
KOTA-nya sejuk dan penuh dengan pegunungan. Ketenangannya memancing datang orang-orang beridologi keras kepala bermukim. Kenyamanan kotanya dimanfaatkan para pengasong khilafah tahririyah berteduh nyaman sekedar untuk berlatih memanah, menembak, lari kuda dan lainnya. Letaknya berada di tengah-tengah dan berbatasan dengan Jawa Timur. Beberapa kali aktris teroris berhasil ditangkap dari kota ini.
Gerakan ideologisasi radikal melalui pendidikan juga bergerak nyaman di kota tersebut. Rohis tumbuh subur sejak pejabat setempat mengeluarkan kebijakan bahwa siapa saja yang ingin mendapatkan beasiswa pelajar disyaratkan ikut Rohis di sekolahnya. Hanya Rohis. Ya, hanya Rohis. Lain itu tidak dianggap. Tumbuhlah Rohis-Rohis baru di sekolah. Di kota itu.
Sang "Wakil" dari partai, di kota tersebut, seolah sangat mendukung lahirnya anak-anak pelajar yang terpapar gerakan radikal, yakni anak-anak usia Rohis yang sudah berani menantang Ansor, Banser dan Pagar Nusa, yang jelas selalu di garda terdepan bila ada bendera HTI dikenakan bebas sebagai simbol kebanggaan.
Baca: Wali Paidi Diperintah Mbah Sunan Ambil Duit Peziarah
Menghadapi keras kepalanya mereka, seorang aktivis LSM sampai sediakan gobang selama 3 hari saat tidur karena merasa diancam terus, utamanya sejak dia berhasil mendeteksi titik-titik berkembangnya ideologi radikal anak-anak Rohis sekolah di kota tersebut. Dia diancam bunuh karena fanatisme jihad qital. Bukan sekedar gertakan.
Seorang kiai NU setempat terpaksa memindahkan anaknya dari sebuah SMK ber-Rohis setelah ia ketahui anaknya sering membaca buku-buku jihad ala JAD atau JAT dari pertemuan yang digelar 2 hari dalam sepekan di sekolah, baik pertemuan tertutup maupun terbuka. Pertemuan itu diselenggarakan sebagai ekstra kurikuler atas nama Rohis, dengan dalih "bimbingan agama".
Anak IPNU-IPPNU yang menggelar rutinan paling-paling hanya selapan atau sebulan sekali (itupun kalau ada dan tidak malas-malasan). Kuantitas pertemuan IPNU-IPPNU jelas kalah dengan kuantitas pertemuan dalam sistem liqa' atau halqah anak-anak Rohis yang dua hari sepekan itu. Materinya pun lebih ideologis Rohis daripada IPNU-IPPNU yang, barangkali, lebih sering hanya terisi dengan ritual (tahlilan, maulidan, manaqiban, dst) daripada kajian ideologi anti radikal dan anti pacaran.
Selain mendapatkan dukungan dari "The Wakil", gerakan idelogisasi radikalisme Rohis di sekolah dijadikan proyek layar terkembang pemahaman anti NKRI karena usia mereka adalah usia pencarian jati diri. Ansor, Pagar Nusa dan PMII di kota tersebut sulit diinfiltrasi mengingat tertutupnya pintu. Begitu pula sekolahan polisi dan TNI. Sulit dimasuki. Sekolah, dengan segenap genitnya kebijakan program pendidikan Indonesia dijadikan pintu masuk yang bebas.
IPNU-IPPNU pun sudah sulit masuk ke sekolah. Apalagi untuk sekolah negeri. Bagi kepala sekolah, tidak ada Rohis sama dengan bunuh diri beasiswa. Alpanya Rohis akan memiskinkan beasiswa pelajar di sekolahnya. Yang penting basiswa masuk, beres perkara. tak perlu peduli apa yang diajarkan dan diideologisasikan oleh Rohis dan ustadz-ustadznya.
Seperti MLM, pembina Rohis juga berlomba-lomba memberikan dooprize bagi anak didik sekolah yang berhasil membawa "teman baru" saat kajian dilangsungkan secara rutin. Wajar jika anak didiknya di SMK-N itu memiliki teman banyak ketika mengibarkan bendera HTI tanpa canggung. Ikut demo 212 dan selfie pakai bendera HTI pun dilakukan. Fotonya diposting dengan nada nyinyir, "siapa saja yang tidak setuju, jadi musuhnya". Naudzubillah. Ini anak belasan tahun loh.
Kalau sudah terpapar ideologi jihad keliru, si anak Rohis sangat sulit dicari di rumah. Selalu menjauh dari orangtuanya dengan alasan ikut liqa', dsb. Diajak diskusi oleh sahabat Ansor dan rekan IPNU-IPPNU se-usia mereka juga menolak. Khas HTI dan Wahabi lah, yang hanya ingin dibenarkan tanpa mau diuji kebenaran keyakinannya itu dengan dalil, dan apalagi vis a vis dalil realitas kesejarahan. Kalah pasti.
Anehnya lagi, wilayah tempat tinggal ketua PCNUnya, karena dia kalah pengaruh dan wibawa, malah jadi tempat terkembang layar ideologi radikal kota tersebut. FPI yang juga teriak "NKRI Harga Mati" juga tidak bisa berbuat apa-apa di kota tersebut. NU dan FPI cukup mesra di sana, karena zakat dan sedekahnya sama-sama di LazisNU setempat.
Sugi Nur pernah hadir di kota tersebut dan pulang membawa "luka". Yang hadir juga banyak. Siapa lagi kalau bukan anak-anak Rohis ingusan perindu jihad jahat itu, dan senior-senior gerakannya di birokrasi, partai politik serta pengusaha-pengusaha kreatif.
Kota itu dekat dengan Sala, berbatasan juga dengan Grobogan. Orang-orang Abu Bakar Ba'asyir sering latihan fisik di perbatasan kota, yang sepi tapi nyaman, dan hal ini dibiarkan begitu adanya oleh pengumpul informasi, hingga kini.
Di kota tersebut, terdeteksi sudah ada 24 titik zona merah radikalisme ekstrim yang potensial menggunakan kekerasan atas nama agama jika tidak ada langkah pencegahan hingga tahun-tahun mendatang. Jika tidak segera diatasi, bukan tidak mungkin kader NU di sana juga ikut masuk angin berharap bisa "berangkat ke Suriah". Piye jal?
Tebak-tebakan yuk. Kota mana yang dimaksud? Yang benar dapat doorprize dari Bu Rohis, pedagang thiwul sebelah kafenya Wali Paidi. Hahaha. [badriologi.com]