Patroli Wali Paidi Edisi - 3 |
Oleh M Abdullah Badri
SETELAH menceritakan kepada Yik Lukman tentang kisah pertemuannya dengan istri, Wali Paidi berkisah santai di Kedai Kopi Paidi tentang gurunya yang lain. Orang-orang memanggilnya dengan Mbah Sutho. Nama aslinya tidak dikenal Paidi sampai sekarang.
Mbah Sutho ini, kata Wali Paidi, hidupnya sederhana. Beliau hidup di sebuah pegunungan Magelang yang jauh dari hiruk pikuk manusia mengejar kebutuhannya sehari-hari. Air dan tumbuhan cukup sebagai bekal beliau agar selalu ingat kepada Allah Swt.
Yang beliau ingat hanyalah shahra' syahadatullah (lapang persaksian kuasa Allah). Saking tidak pernah mendengar suara manusia selama beberapa tahun kecuali suara-suara burung, hewan buas dan silir angin, Mbah Sutho diberi anugerah oleh Allah bisa mendengar bacaan tasbih tiap mahluk yang bergerak dan tidak bergerak.
Tiba-tiba saja, kata Wali Paidi, Mbah Sutho cerita ada yang bertasbih dan bertahmid di seberang kali pegunungan itu.
"Kadang aku disuruh memeriksa, barangkali ada orang yang sedang dzikir di pinggir kali itu. Tapi selalu saja aku tidak pernah menemukannya Yik," kenang Wali Paidi.
Suara itu, kata Wali Paidi menirukan Mbah Sutho, tiada lain adalah suara air sungai yang mengalir. "Subhanallah...Wal hamdulillah...Wala haula wala quwwata illa billah...Begitu wirid yang didengar Yik, kata Mbah Sutho," lanjut Wali Paidi.
Yik Lukman tiba-tiba berdiri, meneteskan air mata dan berteriak membaca Surat Al-Isra' ayat 44 (Wa in min syai'in illa yusabbihu bihamdihi...).
"Subhanallah...subhanallah," Yik Lukman nyebut Allah terus-terusan mendengar cerita Paidi itu, "Kamu kok bisa bertemu Mbah Sutho?"
"Ya karena saya diperintah Gus Dur saja Yik".
"Berarti beliau gurunya Gus Dur".
"Mungkin saja. Aku diminta Mbah Sutho agar silaturrahim ke sana sebulan sekali. Ya hanya duduk, diam, tidur, selama 2-3 hari, sampai diminta pulang ke rumah oleh beliau. Kalau belum pulang, aku harus tetap di sana".
Yik Lukman diminta duduk dan agar mengalihkan dzikir tabsihnya dalam hati saja. Wali Paidi melanjutkan cerita di tengah pelanggannya kedainya yang makin ramai saja pada malam itu.
Kepada Yik Lukman, Wali Paidi mengungkapkan kekaguman dengan kalimat, yang digambarkan Syaikh Ibnu Atho'illah sebagai manusia yang bisa mengubur wujudnya di bumi keterasingan manusia (idfin wujudaka fi ardlil humul).
"Bagi Mbah Sutho, hakikat galaksi ini tidak ada. Al-Kaunu kulluhu dhulmah. Mbah Sutho sangat meresapi sepenuh bashirah-nya tentang ini, Yik".
Suatu kali, Mbah Sutho pernah memerintahkan Wali Paidi agar ziarah ke makam-makam Walisongo secara utuh, dengan jalan kaki dan tidak boleh menumpang ke kendaraan apapun, termasuk bus umum.
Di awal mula perjalanan itu, Wali Paidi mencoba ikut menumpang bus meski tanpa bekal. Bukan hanya ditolak oleh kondektur. Ia dihardik dan didorong sampai terjatuh saat hendak naik ke pintu bus.
Wali Paidi mencoba naik ke bus lain. Kali ini bukan hanya didorong. Wali Paidi sampai ditempeleng oleh sang kernet hingga lebam sisi mata kirinya. "Salahku apa Pak, mbok kalau tidak boleh cukup diminta turun, jangan pakai tempeleng segala," ucapnya ke kernet.
Bus yang ketiga juga sama. Bahkan lebih parah. Wali Paidi, oleh kernet, didorong, dipukul babak belur berkali-kali sambil dibenamkan ke selokan pinggir jalan yang penuh dengan kotoran manusia.
"Aku sempat menelan kotoran manusia di selokan itu Yik. Jadi, aku tahu rasanya sekarang. Hahaha," kata Wali Paidi ke Yik Lukman.
Paidi muda melanjutkan perjalanan ziarah Walisongo dengan jalan kaki. Kapok tidak akan menumpang bus manapun, lagi. Panas terik didapatinya di jalan. Ia tidak boleh membeli makanan. Hanya boleh makan bila mengambil sisa makanan orang di tong sampah.
Paidi benar-benar diperintah Mbah Sutho agar tidak bergantung kepada manusia. Hamba sejati, kata shahib Hikam, adalah mereka yang tidak mengakui hakikat kebermanfaatan wujud manusia. Tawakkal standar tinggi sedang dutempa olehnya. Mengeluh saja tidak boleh, selama di perjalanan. Obat segala rintangan saat menjadi salik Walisongo hanyalah huznudzan kepada Allah Swt.
Selama tiga bulan Wali Paidi berziarah ditemani peringatan agung "ma qadaka syai'un mistlul wahm (tidak ada yang menuntunmu [kepada kehinaan sebagai hamba] seperti bahayanya berandai-randai [wahm] kalau di bumi ini [selain Allah], ada yang bisa merugikan dan memberi manfaat)".
Usai ziarah, Paidi pulang ke pondoknya. Berpuluh hari Paidi tidak mandi. Tubuhnya merasakan kesegaran. Panas terik jalanan, hujan lebat yang dilaluinya, seolah terlupa. Di depan cermin, masih berhanduk, ia kaget.
"Perasaan saat di jalan kelaparan selama tiga bulan, tubuhku mengering. Kulit menghitam. Kok ini jadi putih dan gemuk kembali?"
Ada kawan santrinya bertanya, "kamu kemana saja selama tiga hari ini, dicariin Gus Misbah tuh, katanya ada hadiah dari yang naksir, cah pondok putri".
"Ndasmu tiga hari. Aku kan dah bilang ke lurah pondok ijin pulang empat bulan. Aku kembali ke pondok sekarang karena urusanku sudah rampung lebih cepat".
"Hahahaha. Woi Paidi. Ini tanggal 27. Kamu pamit tanggal 24 kemarin. Tuh masih ada catatan ijinmu".
"Beneran?"
"Bener. Sumprit!"
"Laa haula wala quwwata Illa Billah. Mbah Sutho. I Love You, Mbah".
(Mulai sekarang, kamu tidak boleh takut mati, takut miskin dan takut dibully di jalan yang benar. Jangan baperan. Kamu sudah membuktikan sendiri wujud kuasa Allah selama jadi salik ziarah).
"Begitu Yik kata Mbah Sutho dalam mimpi saat malam usai pulang ke pondok," kata Wali Paidi ke Yik Lukman.
Sejenak, Yik Lukman mengeluarkan kunci mobilnya, dan dilempar ke Wali Paidi. "Ini untuk apa Yik? Kau kasi hadiah mobil ke aku hanya karena cerita Mbah Sutho yang buatmu nangis? Barakallah!".
"Hadiah gundulmu. Ayo antar aku silaturrahim ke Mbah Sutho. Sekarang. Tingalkan kedaimu".
"Kan sudah wafat".
"Ya sudah. Ayo ziarah ke makamnya".
"Tidak tahu".
"Kuwe iki piye toh. Murid kok mabuk begitu".
"Mbah Sutho itu humul Yik. Tidak mau terkenal. Sampai makamnya saja dimana tidak ada mengetahui".
"Terus piye kalau pengen ketemu?"
"Ngopi saja sini. Itu ududnya masih banyak".
Wali Paidi mengajak karyawan kedainya tahlilan sebentar. Kirim Al-Fatihah dan bacaan thayyibah lainnya untuk Mbah Sutho. [badriologi.com]
Keterangan:
Ini adalah serial Patroli Wali Paidi (edisi 3). Rampung ditulis 28 Oktober 2019 - 00.03 WIB.