Patroli Wali Paidi ke-1. Foto: dokumen penulis. |
Oleh M Abdullah Badri
TIBA-TIBA ada rombongan polisi datang ke Kedai Kafe Paidi, tengah malam. Wali Paidi yang sedang sujud harus menghentikan sejenak atas manisnya bermunajat kepada Allah. Ada beban dalam wajah-wajah rombongan yang pernah disindir Ustadz Muhair sebagai "wereng coklat" itu. Wali Paidi menyambut. Mereka mencium tangan.
"Begini kiai, kami ini orang Islam. Bertugas sebagai polisi khusus menangkap para teroris di Indonesia atas perintah atasan," kata mereka, "tapi...".
Wali Paidi masih mendengarkan terusan ucapan mereka yang tercekat sambil menyalakan Djisamsu-nya. Mereka terus dikejar kata, Wali Paidi masih menghisap Djisamsu, khusyuk menunggu apa yang membuat mereka seperti ketakutan begitu.
"Tapi apa pak.." Kata Wali Paidi.
"Saat kami berhasil menangkap, kami merasa bersalah".
"Karena kamu menangkap mereka saat sedang shalat?"
Jawaban Wali Paidi membuat mereka tertunduk. Rombongan polisi saling celingukan. "Kok dia tahu," senggol salah satu rombongan.
"Saya tahu kalian menangkap Nurdin saat shalat karena apa yang kalian lakukan itu sudah sesuai sunnah dan ada dalam sejarah sahabat Rasulullah Saw.," Wali Paidi meneruskan.
"Maaf kiai, kok nama yang jenengan sebutkan persis tokoh yang kami tangkap?"
"Baru kemarin malam kan kalian datang ke rumahnya?"
"Betul".
Mereka makin tidak percaya dengan tebak-tebakan Wali Paidi. Hampir semua perkataan Wali Paidi tak ada yang meleset. Padahal penangkapan si Nurdin sangat rahasia, senyap, tanpa ada pelibatan media sama sekali.
"Kalian tidak usah takut. Memang itu tugas kalian. Jangan merasa bersalah. Itu memang tugas berat, dan semoga apa yang kalian diganjar pahala oleh Allah. Itu termasuk sunnah sahabat Rasulullah".
"Maksudnya?"
"Saya cerita yah. Boleh kalian catat. Zaman Sayyidina Ustman dibunuh, banyak yang menuntut agar pembunuhnya dituntut perkara setimpal. Tapi tidak ada yang mengetahui siapa pembunuh Ustman, karena pelakunya langsung menyusup ke lingkaran Sayyidina Ali bin Abi Thalib untuk menghilangkan jejak, seolah mereka mendukung penerus Sayyidina Ustman itu,
"Suatu kali, ada yang menyelediki kelompok pembunuh Sayyidina Ustman. Teliksandi khalifah Ali berhasil mengidentifikasi siapa saja yang merencanakan khalifah Ustman. Begitu ada perintah Sayyidina Ali agar mereka dibunuh, pasukan utusan Ali balik lagi".
"Mereka tidak berani kiai?"
"Sebentar, kopinya diminum dulu," kata Wali Paidi sebelum melanjutkan ceritanya, sambil menyajikan kopi khas Kafe Paidi, buatan tangan Yik Lukman, -kopi Arab Ghaza.
"Puluhan pasukan Khalifah Ali itu bukannya tidak berani. Tapi sungkan. Saat akan dibunuh, kaum se kampung yang berhasil merencanakan pembunuhan Khalifah Ustman itu ternyata rajin shalat, ahli puasa, sering shalat malam dan banyak di antara mereka yang hafal Qur'an, seperti yang kalian alami kan?".
Rombongan polisi itu masih manggut-manggut saja mendengarkan terusan cerita Wali Paidi.
"Tiba-tiba, lain hari, penduduk kampung itu lenyap. Semuanya dibunuh dan hanya disisakan beberapa orang saja, termasuk Ibnu Muljam".
"Ibnu Muljam yang kiai maksud itu pembunuh Khalifah Ali itu?"
"Siapa lagi?"
"Kok berani amat kiai?"
"Ibnu Muljam bukan hanya Khawarij. Dia itu dendam dengan Khalifah Ali karena beliau lah yang tidak takut menghentikan kaum-kaum radikal ekstrimis yang membunuh Khalifah Ustman, meski mereka menyusup ke lingkaran Khalifah Ali dan mendeklarasikan sebagai pendukung".
"Risikonya," lanjut Wali Paidi, "Khalifah Ali juga dibunuh sendiri oleh Abdurrahman bin Muljam pada 26 Januari 661 M di Masjid Agung Kufah, yang juga sedang shalat. Mereka ini bukan manusia. Mengapa kalian merasa berdosa hadapi Bani Muljam ini di Indonesia?"
"Mereka sesama muslim Mbah Kiai," kata salah satu rombongan polisi.
"Mereka ini muslim tapi tidak rahmatan. Di surga, kata Nabi Muhammad Saw., besok ada kelompok penghuni surga yang beliau mengenalnya, mereka juga mengenal beliau tapi mereka tidak akan bisa meminum Telaga Nabi di sana karena jalan keislamannya tidak sama dengan Nabi".
"Ibnu Muljam maksudnya kiai?"
"Iya, beserta keturunannya dan para pembunuh cucu Nabi Saw. di Karbala. Mereka muslim. Tapi apakah mereka layak mendapatkan syafaat beliau, jauh dari harapan tentunya kan?"
Wali Paidi sebenarnya ingin menjelaskan resep Bashar Asshad bisa mempertahankan negeri Suriah dari kehancuran meski terus dilanda perang saudara, tapi, karena rombongan polisi itu keburu pamit, penjelasan itu disimpan sendiri.
"Apa resepnya Mbah?" Yik Lukman nyelatuk dari belakang. Tiba-tiba. Wali Paidi senyum.
"Ah, sampeyan ini Yik. Tidak usahlah," Wali Paidi menimpali.
Sesama wali, mereka tidak bisa saling simpan rahasia Allah. [badriologi.com]
Keterangan:
Ini adalah serial Patroli Wali Paidi (edisi 1). Ditulis 27 Oktober 2019.