Ilustrasi transaksi Cost of Delivery alias COD. Foto: istimewa. |
Oleh M Abdullah Badri
COST of Delivery (COD) biasanya dipilih sebagai transaksi untuk mempermudah sampainya barang dari penjual ke calon pembeli. Akad COD dipakai karena lokasi pembeli dengan penjual lumayan dekat. Sesama kabupaten atau kecamatan, misalnya.
Saya termasuk yang pernah menggunakan akad jual beli dengan COD berkali-kali. Dan berhasil tanpa komplain. Tapi, COD ternyata menyimpan bahaya dan risiko. Simak cerita saya di bawah ini sampai selesai.
Pertengahan Bulan Ramadhan 1441 H, di gang masuk rumah, sempat hampir terjadi perkelahian. Geger-geger di pinggir jalan, dua orang sahabat Ansor Ngabul yang kebetulan lewat usai silaturrahim ke tetangga (madahi beras BA), mencoba mendekat. Sengaja ia mendekat karena ada yang meminta tolong.
"Mas, tolong saya," kata anak remaja itu. Sahabat Ansor Ngabul yang mendengar segera mendekat. Motor Tiger yang dipakai membuatnya seolah bercitra lelaki sejati. Hahaha.
"Ono opo, dik?" Kata dia, didampingi seorang sahabat Ansor Ngabul lainnya, yang masih sarungan.
Remaja yang katanya anak Desa Senenan itu bercerita, bahwa dia, sebelumnya, sudah janji akan barter hape dengan seorang yang mengaku dari Desa Lebuawu. Transaksi itu dimulai dari Facebook. Kesepakatan COD juga terjadi di Medsos, tanpa saling kenal dan tanpa saling mengetahui identitas asal masing-masing.
Baca: Bantuan Langsung Tunai Ansor Bukan Bersumber dari ADD, Ndoro!
Berbekal foto barang yang dipajang, keduanya sepakat bertemu di malam itu, di perempatan Gang Marsam Ngabul. Setelah dinilai dan dilihat-lihat, remaja asal Senenan ternyata tidak sepakat tukar barang (barter) dengan hape milik pemuda Lebuawu. Alasannya, realitas barang tidak sesuai kenyataan di deskripsi.
"Layarnya rusak mas, padahal foto yang dipajang tidak begitu. Saya tidak mau tukar barang. Tapi mereka memaksa," kata remaja asal Senenan itu kepada Sahabat Ansor yang sedang berkomunikasi.
Si remaja itu hanya berdua. Sementara pemuda yang mengaku asal Lebuawu itu berombongan enam orang. Rata-rata bertato lebat di tangan. Dan baunya, kata Sahabat Ansor, seperti orang mabuk. (Koyo tahu mabuk wae bro....hahaha).
Terang saja si remaja ketakutan. Mereka dipaksa harus mau barter tanpa alasan. Padahal, dalam akad jual beli, harusnya ada khiyar (boleh memilih, antara meneruskan transaksi atau membatalkannya, dengan janji di awal).
"Sebetulnya, bagaimana akad awal yang kalian jalankan saat belum bertemu?" Kata Sahabat Ansor yang tidak mau disebutkan namanya itu.
Masih di atas Motor Tiger, dengan gagah Sahabat Ansor Ngabul berusaha merayu agar mereka damai, tapi rombongan tato yang ngaku asal Lebuawu itu tetap harus terjadi barter. Terpaksalah direncanakan menelpon Polsek atau Ketua RT, karena terjadi di wilayah hukum Desa Ngabul Rt. 03 Rw. 03.
Hanya "digertak" begitu, di atas Motor Tiger seolah wibawa dan megilan, rombongan tato akhirnya pikir-pikir. Dia balik ke arah Lebuawu. (Badan besarmu bermanfaat juga sobat, meski bersarung tanpa sempak -barangkali. Hahaha).
"Mas, tolong saya antar pulang bisa? Saya takut dicegat mereka karena batal transaksi," kata remaja asal Senenan itu.
"Pulang aja, tidak apa-apa," kata Sahabat Ansor yang lain.
Belum genap 10 menit pasca "minggatnya" rombongan bertato, mereka balik lagi. Menghampiri lagi ke remaja tadi. Ingin memaksa transaksi. Lagi. Makin ketakutan juga kan akhirnya.
Kedua remaja itu pun diantarkan oleh dua Sahabat Ansor Ngabul yang baik hati. Melewati jalan tikus, bukan jalan raya, dan memutar hingga sampai ke sebuah perempatan di Kecamatan Batealit, Jepara.
The End.
Atas kisah di atas, pembaca hendaknya menentukan dulu akad apa yang akan dipakai sebelum benar-benar bertemu (COD). Buatlah khiyar (boleh membatalkan transaksi bila barang tidak sesuai spek atau penampakan).
Bila tidak, nyawa bisa jadi taruhan. Untung saja ada Sahabat Ansor Ngabul yang ikhlash dan baik hati mau menjadi "mujahid" pengawal COD gagal. Kalau tidak? Ya wassalam. Camkan itu! [badriologi.com]