Berkurban dengan hewan yang tengah hamil. Foto: badriologi.com. |
Oleh M Abdullah Badri
SEKITAR tahun 2017, di daerah Kudus, Jateng ada peristiwa langka yang cukup menggegerkan warga sekitar saat Idul Adha. Pasalnya, saat panitia menyembelih kerbau itu, ternyata hamil di luar dugaan (bukan di luar nikah loh yaw). Panitia masjid setempat lemes mendadak.
Tahun 2020, di Pecangaan, Jepara juga pernah muncul kejadian serupa hingga ada di dua lokasi masjid. Hanya saja, yang di Pecangaan ini masih berbentuk mudgah (gumpalan). Bagaimana hukumnya?
Demi mencukupkan anggaran, kadang panitia lebih memilih hewan betina. Murah. Sayangnya, bila hamil, siapa yang akan bertanggungjawab? Jawabannya pasti bukan bapaknya. Melainkan panitia.
Ulama sepakat, berkurban dengan hewan yang gemuk lebih afdhal daripada yang kerempeng. Bagi yang tidak paham hewan, hamil kadang bisa dilihat menyerupai gemuk. Sama-sama besar di perut, dan seolah menjanjikan daging berlebih, padahal tidak selamanya demikian.
Tidak ada perbedaan hukum secara fiqih antara hewan itu jantan atau betina. Imam Nawawi, sebagaimana dikutip As-Syarbini dalam Kitab Al-Iqna' bahkan membolehkan berkurban hewan dengan jenis kelamin yang membingungkan, yakni huntsa atau wandhu/waria. Alasannya, huntsa mengandung kemungkinan jantan maupun betina, yang keduanya tidak diperselisihkan. Berarti boleh.
Yang tidak dianggap boleh (la tujzi') adalah hewan betina hamil. Ini adalah pendapat kuat (mu'tamad) di kalangan ulama' fiqih. Hewan kurban hamil disebut ulama' sebagai aib (عيب). Dia harus dikarantina mandiri. Tidak boleh dikurbankan sampai dia melahirkan dan siap dikurbankan, lagi.
Apa Alasannya?
Daging hewan kurban yang hamil cenderung sedikit. Padahal, hikmah dari sunnahnya menggemukkan hewan kurban agar si hewan tetap kaya daging. Ulama fiqih sangat mempertimbangkan ihwal berat daging hewan kurban hingga memunculkan syarat-syarat, mana hewan yang boleh dikurbankan dan mana yang tidak.
Semua kondisi hewan ternak (bahimatul an'am) boleh dijadikan udlhiyah (kurban), asal, misalnya ada cacat, cacatnya tidak sampai dianggap mengurangi berat daging. Walhasil, hewan yang akan dikurbankan tidak boleh diajak diet.
Selain sedikit daging, kualitas daging hewan hamil pun rendah (radi') dan merusak bagian lambungnya setelah dia wiladah (melahirkan). Atas alasan ini, Imam Zarkasyi bahkan menyamakan status hewan yang sedang dag-dig-dug menunggu Hari Perkiraan Lahir (HPL) anaknya dengan hewan yang hamil muda. Demikian juga dengan hewan menyusui. Statusnya sama, aib, menurut Imam Zarkasyi. (Baca: Al-Iqna' fi Halli Alfadzi Abi Syuja' Jilid 2, hlm: 570).
Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh Syaikh Abu Hamid dan murid-muridnya, seperti dikutip oleh Syaikh Zakaria Al-Anshari dalam Kitab Asnal Mathalib (Juz 1, hlm: 536).
Imam Qulyubi, dalam Hasyiyahnya atas Jalaluddin Al-Mahalli yang mensyarah Mihajuth-Thalibin, lebih detail lagi menjelaskan. Baginya, hewan hamil, walau calon anaknya masih berbetuk alaqah atau mudghah, tetap tidak boleh.
قوله أن الحامل: ولو علقة و مضغة ومثلها قريبة العهد با لولادة
Artinya:
"(Binatang hamil tidak sah dijadikan kurban) walaupun masih berbentuk segumpal darah atau segumpal daging. Termasuk (seperti binatang hamil - tidak sah) adalah betina hamil yang mendekati masa kehairan (hamil tua)". (Baca: Hasyiyata Qulyubi wa Umairah Juz 4, Maktabah Musthafa Al-Halabi, hlm: 252).
Imam Ibnu Hajar juga senada. Dengan tegas Ibnu Hajar menyatakan tidak diperbolehkannya udhlhiyah dengan hewan hamil walaupun dagingnya bertambah.
إعتمد إبن حجر فى الفتح عدم جواز التضحية بالحامل وإن زاد به اللحم لأنه عيب
Artinya:
"Dalam Kitab Fathul Jawad, Ibnu Hajar tetap berpendirian tidak boleh menyembelih kurban dengan hewan hamil walaupun dagingnya bertambah, karena hal itu adalah aib".
Sama kekehnya dengan Ibnu Hajar, Abu Mahzamah juga kekeh memperbolehkan berkurban dengan hewan hamil selama tidak berdampak pada kurangnya berat daging, sebagaimana bisa dibaca dalam kitabnya, Al-Qala'id. (Baca: Bughyatul Mustarsyidin Jilid 4, hlm: 338).
Alasan dasar; asal tidak terlalu banyak mengurangi daingnya inilah, penulis Kitab Tahrir Fatawi, Syaikh Abi Zur'ah (826-862 H), memilih bolehnya berkurban dengan hewan yang sedang hamil dengan catatan. Berikut kata beliau:
وقال شيخنا فى تصحيح المنهاج: أخرجت من نصوص الشافعي التصريح بجواز الأضحية بالحامل واتفاق الأصحاب على ذلك وذلك ما لم يحصل فيه نقص او حصل نقص يسير, فإن حصل نقص فوق اليسير ودون الفاحش فهو محل الخلاف الذي ذكره العجلي. وإن حصل نقص فاحش وتفاحش نقصان اللحم فهذه يمنع الأضحبة بها
Artinya:
"Dalam Tashihul Minhaj, guruku berkata: aku telah cek naskah-naskah Syafi'i dimana ditemukan penjelasan bolehnya berkurban dengan hewan yang hamil, dan murid-muridnya sepakat akan hal itu. Dengan catatan, selama tidak berdampak kepada kurangnya dagingnya, atau hanya berkurang sedikit. Jika lebih dari itu, terjadi khilaf (perbedaan) seperti diungkap Al-Ijli. Bila sampai berakibat pada kurangnya daging hingga (berkualitas) jelek/rendah, maka, berkurban dengan yang hamil tidak boleh". (Baca: Tahrirul Fatawi Alat Tanbih wal Minhaj wal Hawi Jilid 3, Waliyuddin Abi Zur'ah Ahmad bin Abdirrahim bin Husain bin Abdir Rahman Al-Iraqi Al-Kurdi Almihrani Al-Qahiri As-Syafi'i, Cetakan Dar Minhaj, 2011, hlm: 404)
Ulama yang populer membolehkan hewan hamil dikurbankan adalah Ibnu Rif'ah. Menurutnya, hewan yang hamil dan disembelih, meskipun dagingnya berkurang, tapi kekurangan itu bisa diganti dengan berat daging anaknya. (Baca: Asnal Mathalib Juz 1, hlm: 536).
Namun, pendapat Ibnu Rif'ah ini dibantah habis-habiskan oleh para ulama' lainnya. Imam Al-Isnawi bahkan heran (تعجب) dengan alasan Ibnu Rif'ah ini. Kalau memang unsur daging adalah yang paling utama dicari dalam ibadah kurban, mengapa hewan kudisan yang gemuk tetap tidak mencukupi syarat kurban? Demikian alasan keras membantah Ibnu Rif'ah. (Al-Iqna' Jilid 2, hlm: 570).
Kesimpulan
Intinya, ulama madzhab banyak yang tidak membolehkan hewan hamil dijadikan kurban, walaupun masih segumpal daging (hamil muda). Mereka yang membolehkan pun masih memberikan catatan masing-masing. Dan nyatanya, hewan yang hamil mengandung banyak gajeh (lemak), yang dalam kasus di Pecangaan Jepara, banyak dibuang. Katanya, berat lemaknya sempat mencapai 50 kilo. Piye jal?
Rekomendasi
Agar selamat dari aib hamil, pilihlah hewan jantan gemuk untuk disembelih. Selain dagingnya bagus, dia tidak akan hamil. Jangan terlalu pelit untuk membuat hidangan atas nama Allah di Bulan Dzulhijjah.
Bila saat disebelih hewan itu penyakitan, misalnya terdapat banyak cacingnya bagaimana? Baca ulasan kurban berikutnya di artikel: Hewan Kurban Cacingan, Bagaimana Hukumnya? [badriologi.com]