Usai ngaji Ramadhan di Masjid Baitul Muttaqin, Gondelan, Ngabul, Jepara, Rabu (14/04/2021) sore jelang buka puasa. Foto: Pengurus NU Ngabul. |
Oleh M. Abdullah Badri
TARAWIH adalah kata jama' (majmuk) dari bahasa Arab tarwih (ترويح), yang artinya istirahat atau jeda. Karena antar shalat tarawih terjadi jeda istirahat berkali-kali, maka, disebutlah sebagai Tarawih (تراويح).
Di zaman Rasulullah Saw. masih hidup, istilah shalat Tarawih belum dikenal. Nabi Muhammad Saw. hanya menghimbau supaya tiap malam di Bulan Ramadhan para sahabat selalu menghiasinya dengan amal ibadah yang sangat banyak. Tapi, beliau tidak memerintahkan spesifikasi ibadah apa yang harus dikerjakan oleh umatnya kala itu.
Saat itu, shalat sunnah yang dilakukan setelah shalat atabah (Isya') hanya disebut sebagai Qiyamu Ramadhan (mendirikan ibadah di bulan Ramadhan). Saat itu, Rasulullah Saw. hampir tidak pernah keluar rumah untuk jama'ah shalat ke masjid di malam-malam Ramadhan. Para sahabat bahkan ada yang menunggunya, hingga mereka bubar sendiri menjelang Subuh.
Baca: Niat dan Tatacara Wudlu' dan Mandi Janabah
Karena tidak ada Rasulullah Saw. datang ke masjid, para sahabat saat itu berjama'ah sendiri dengan jumlah 5-6 orang. Suatu ketika, Rasulullah Saw. tiba-tiba datang untuk jama'ah shalat Isya' dan dilanjut dengan ibadah shalat malam. Ramailah para sahabat yang saat itu menunggu di masjid langsung ikut barisan jama'ah di belakang beliau Saw., dekat rumah.
Setelah lama berjama'ah, Nabi Saw. tiba-tiba menghentikan shalat tersebut dan masuk ke dalam rumah. Banyak sahabat yang bertanya-tanya atas tindakan Rasulullah Saw. tersebut, esok harinya. Malam hari berikutnya, orang-orang di dalam masjid ramai membincang Rasulullah Saw. yang melaksanakan shalat Isya' tapi tidak dilanjut shalat sunnah berikutnya seperti malam sebelumnya.
Kepada istri Sayyidah A'isyah, Rasulullah Saw. kemudian menjelaskan alasannya, bahwa tiadanya beliau datang ke masjid secara rutin adalah semata-mata karena khawatir kalau Qiyam Ramadhan dengan shalat yang panjang waktu (atau rakaatnya) itu akan diwajibkan kepada umat Rasulullah Saw. kelak. Beliau sengaja absen dengan alasan rahmat.
Suatu kali, sahabat Anas ra. diam-diam mengikuti Rasulullah Saw. berjama'ah di belakang beliau. Tidak lama, beliau masuk ke rumah dan melanjutkan shalat tanpa diketahui shalat apa yang dikerjakan beliau di rumah. Esok hari, Anas ra. mendapatkan penjelaskan dari Rasulullah Saw. kalau tindakannya tadi malam semata-mata karena kekhawatiran beliau jikalau shalat malam Ramadhan akan diwajibkan untuk umatnya, kelak. (Qiyamu Ramadhan, hlm: 38).
Bila dicermati, Rasulullah Saw. keluar dari rumah dan berjama'ah di masjid di malam-malam Ramadhan hanya terjadi 3 kali, yakni di hari ke-23, 25 dan 27. Shalatnya kadang hingga tengah malam, seperempat malam dan sepertiga malam jelang sahur (hingga ada sahabat bernama Nu'man bin Syair, yang hampir tidak sempat sahur karena ikut shalat ini). (Kitab Qiyamu Ramadhan, hlm: 40).
Beberapa keterangan dalam Kitab Qiyamu Ramadhan menyebutkan, lamanya Nabi Saw. melaksanakan shalat karena beliau membaca surat-surat dalam Al-Qur'an yang jumlah ayatnya mencapai ratusan. Surat ini disebut sebagai surat mi'in (المئين) seperti Surat Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisa' dan Al-Mai'dah seterusnya.
Baca: Berkah Sempak Kiai Untuk Santri
Terang saja, para sahabat ada yang merasa kewalahan juga mengikuti cara shalat Rasulullah Saw. yang panjang-panjang bacaan Al-Qur'annya itu. Ada yang kemudian membawa tongkat saat jama'ah untuk menahan kantuk. Sahabat Ibnu Mas'ud, khadim Rasulullah Saw., juga mengaku hampir tidak mau ikut jama'ah shalat sunnah di malam Ramadhan bersama Rasulullah Saw., saking lamanya.
Pasca Rasulullah Saw. wafat, tradisi shalat jama'ah di malam Ramadhan masih berlangsung tanpa perubahan apapun. Barulah di masa khalifah Umar bin Khattab ra., ada perubahan sedikit terkait tradisi yang dianggap memberatkan ini. Jika di masa Rasulullah Saw. tidak ada yang memilih imam saat shalat, di masa Umar ra., para sahabat memiliki kecenderungan baru untuk memilih menjadi makmum kepada imam yang bacaan Al-Qur'an sangat bagus. Di masjid, mereka justru membuat kubu-kubu, yang membuat suasana Ramadhan kurang enak dijalankan secara rukun.
Di masa Sayyidina Umar ra. ini, dalam satu masjid ada banyak jama'ah tersendiri untuk mengikuti shalat malam. Khalifah akhirnya memutuskan supaya dalam satu masjid ada satu imam. Umar memilih Ubay bin Ka'ab sebagai imam dengan alasan, ia pernah disebut Rasulullah Saw. sebagai orang yang paling baik bacaan qira'atnya (أقرؤكم أُبيّ). Setelah berjalan beberapa lama, Ubay bin Ka'ab ra. juga didampingi oleh sahabat lain.
Sejak itulah, Sayyidina Umar ra. membuat keputusan supaya shalat Tarawih dilaksanakan dalam 20 rakaat bersama shalat witir dengan bacaan Al-Qur'an yang dipersingkat. Saat itu juga, kebijakan beliau yang belum terjadi di zaman Rasulullah Saw. itu menghasilkan maslahat untuk umat Islam. Sayyidina Umar ra. kemudian menyatakan, bahwa shalat malam Ramadhan yang disebut Tarawih itu sebagai bid'ah nikmat.
نعمت البدعة هذه
Artinya:
"Bid'ah nikmat ya ini (Tarawih)".
Di zaman Khalifah Umar bin Abdul Aziz, Tarawih sempat dilaksanakan hingga 36 rakaat, dengan alasan: ingin menyaingi pahala penduduk Makkah yang saat jeda antar shalat mereka bisa menggunakan waktu untuk Thawaf di Ka'bah.
Tapi, para imam madzhab sepakat, shalat Tarawih dilakukan dengan 20 rakaat ditambah 3 rakaat witir. Yang membid'ahkan 20 raka'at adalah orang yang lahir bukan di periode ulama' salaf, seperti Syaikh Albani.
Demikian sejarah Tarawih secara singkat, yang penulis sarikan dari Kitab Qiyamu Ramadhan karangan Syaikh Muhammad bin Nashr bin Al-Hajjaj Al-Marwazi (Download PDF). [badriologi.com]
Keterangan:
Substansi konten artikel di atas penulis sampaikan di Masjid Baitul Muttaqin, Gondelan, Ngabul Tahunan, Jepara dalam Ngaji Ramadhan, Rabu, 14 April 2021 (2 Ramadhan 1442 H) sore | Pukul 16:40-17:35 WIB, bersama PRNU Ngabul Tahunan Jepara.