Memahami makna syahadat. Foto: istimewa. |
Oleh M. Abdullah Badri
JUMAT sore (16 Juli 2021), setelah kedatangan tamu gondrong ngaku utusan Mbah Datuk yang tak mau dikenal identitasnya itu, malamnya saya jagongan dari jam 11 malam hingga Subuh, dengan dua seorang ber-KTP Kristen dan pengikut Kejawen, tapi keduanya saya sebut bersyahadat jejeg (lurus). Kok bisa?
Bayangkan, dia mengaku Kristen tapi mengimani kalau ada manusia yang sudah ditakdir sesat atau selamat sejak sebelum lahir oleh Gusti Allah. Teologi ini setahu saya ada di Islam. Setahu saya juga, di Kristen semua orang dijamin selamat. Pasalnya, dosa manusia sudah ditebus oleh Yesus.
Bagi dia, yang ditebus Yesus bukanlah dosa manusia, melainkan dosa alam. Dalam Islam, tafsir teologi seperti ini mirip dengan tafsir isyari atau falsafi, yang setahu saya tidak populer di kalangan umat Islam.
Baca: Habis Dibedil, Wali Paidi Koma di Rumah Sakit
Ia menyebut, agama hanyalah baju. Tujuan utama orang beragama adalah mengakui dirinya sebagai hamba, dimana semua gerak langkahnya demi dan untuk kemuliaan Kerajaan Tuhan Yang Maha Kuasa (Li i'la'i mulkillah). Maka, dia selalu menangis dalam semedi ketika hijab alam lain dibuka, dan dia melihat wajah asli manusia yang tidak manusiawi.
Berkali-kali ia mengaku kadang melihat wajah manusia dalam bentuk binatang. Ini mengingatkan saya atas kisah banyak wali Allah yang dibukakan pintu hijabnya sehingga diberi anugerah bisa melihat hakikat manusia yang kadang berbetuk kethek, anjing, ular, dan lain sebagainya.
Dalam rangka menutupi hijab, ada seorang wali Allah yang terpaksa istiqamah merokok, bermain musik dan lain sebagainya, yang dianggap bukan bagian dari pakem syariat Islam yang dituntut wajib diamalkan.
Soal reinkarnasi juga ia singgung. Padahal, ini khas teologi Hindu dan Budha. Menurutnya, ada khalifah tertentu, manusia khusus tertentu, yang akan kembali ruhaninya ke jasad manusia lain dalam rangka menjalankan tugas mulia mengembalikan manusia kepada asal penghambaan. Bahasa mudahnya, ia memiliki tugas nubuwat tanpa henti.
Meski dalam Islam hal itu tidak diakui, tapi percikan pemikiran seperti itu ada juga dalam Kitab Tafsir Al-Iklil karangan Kiai Misbah Musthofa (Tuban) saat menafsiri ayat "inni ja'ilun fil ardli khalifah", mengutip Tafsir Ibnu Arabi yang hanya berdasarkan mimpi. Karena sudah membacanya, saya tidak kaget amat dengan pemikiran seperti ini.
Menurutnya, manusia sekarang itu hanya mengetahui urip (hidup) tapi tidak mengetahui panguripan (tujuan hidup). Banyak manusia sekarang yang hidup hanya untuk makan, tidur dan beranak-pinak, tanpa mengetahui tujuan akhir manusia diciptakan oleh Allah, yakni mengakui dirinya sebagai hamba seutuhnya. Ia percaya hari penghakiman oleh Allah, yakni Hari Kiamat. Benar-benar seperti teologi dalam Islam.
Karena itulah ia mengkritik para pengkhotbah lintas agama yang "tak beriman", dimana mereka menghafal firman Tuhan tapi hanya untuk makelaran, dengan tujuan duniawi. Apalagi pengkhotbah yang serasa merasa dirinya paling yes di hadapan umatnya itu. Mereka yang menyebut Allah bertangan, bermata, bertempat, bagi dia, sama dengan menyembah berhala, bukan menyembah Allah. (Lho, iki lak yo teologi Asy'ari Aswaja, Pak).
Ia juga mengimani sepenuhnya bahwa pathi (ajal), rezeki dan semua gerak manusia, ditentukan oleh Yang Maha Kuasa. Karena total mengingat Tuhan, ia membahasakan dzikir khafinya dengan kalimat: Allah adalah "pakanan" sehari-harinya. Sungguh di luar teologi Kristen yang saya kenal.
Baca: Belajar dari Filosofi Perkutut dan Katuranggannya
Mengingat dia, saya ingat Abu Thalib, paman Nabi. Menurut Syaikh Dahlan dalam Kitab Asnal Mathalib fi Najati Abi Thalib, paman Nabi itu selamat karena syafaat Rasulullah Saw., kelak. Padahal, kata Syaikh Dahlan, Nabi sendiri menyatakan, syafaat beliau hanya untuk umatnya, yang tentu saja harus beriman. (syafa'ati li-ashabil kaba'ir min ummati, hadits ini juga ada di Kitab Dha'ul Ma'ali syarah Bad'ul Amali karangan Syaik Ali Al-Qari').
Simpulnya, Abu Thalib diakui Rasulullah Saw. sebagai umatnya. Buktinya, besok dia akan mendapatkan syafaat. Ini pendapat Syaikh Dahlan. Silakan cari referensi yang saya sebutkan di atas.
Abu Thalib ini bisa disebut sebagai sosok yang bersyahadat jejeg (lurus) walau dia tak pernah menampakkan diri mengucapkan dua kalimat syahadat. Ada yang membahasakan Abu Thalib sebagai: orang beriman tapi tidak berislam. Bila Anda membaca khotbahnya saat menikahkan Rasulullah Saw. dengan Khadijah, Anda akan terkagum-kagum hakikat imannya. Teksnya ditulis Syaikh Nawawi Banten dalam Kitab Madarijus Su'ud (Syarah Maulid Al-Barzanji).
Dalam kitab-kitab fuqaha' mabsuthah (yang dijabarkan luas syarahnya) juga dijelaskan, ucapan syahadat yang meluncur dari seseorang itu memiliki konsekuensi hukum syariat, dimana si pengucap harus mengamalkan rukun Islam. Bila mati pun, dia harus dikubur ala muslim, walau di hatinya sangat juhud (menentang) kepada ajaran Islam, laiknya para munafik itu.
Baca: Sumber dan Macam-Macam Najis yang Dima'fu
Karena saya diminta supaya tetep bersyariat oleh tamu misterius itu, saya hanya mengimani sebagaimana Kitab Aqidatul Awam menjelaskan; bahwa umat Islam hanya perlu mengimani rukun iman yang enam itu saja, cukup! Lain itu, biarlah menjadi rahasia Allah. Kita tidak berhak tahu kecuali yang sudah dikatakan Jibril kepada Nabi Saw. saat dia mengubah bentuk sebagai laki-laki ganteng berpakaian putih dan wangi, dan mengajarkan Islam, Iman serta Ihsan lewat tanya jawab. (Hadits populer di Arba'in Nawawi).
Bukankah Rasulullah Saw. diutus untuk menyempurnakan ajaran hanif (lurus) dari Nabi-Nabi sebelumnya? Tanya Mbah Datuk Sabtu (17 Juli 2021). Saat oleng sore itu, beliau pun memberikan ayat ini: Al-Yauma Akmaltu Lakum Dinakum. "Kanjeng Nabi luwih sempurna ajarane, Nang! Wis, melu iku wae! Ojo nolah-noleh".
Syahadatain yang diajarkan Rasulullah Saw. pasti jejeg (lurus) kalau dihayati dengan ayat: Laisa Kamitslihi Syai'un. Inti tauhid ahlussunnah wal jama'ah ada di ayat ini. [badriologi.com]