Hukum mengucapkan kalimat: saya Islam, insyaAllah. Foto: badriologi.com. |
Oleh M. Abdullah Badri
SEBELUM membahas hukum boleh tidaknya mengucapkan "InsyaAllah saya Islam", kita harus membahas dulu perbedaan antara Maturidiyah dan Asy'ariyah tentang makna beruntung (سعادة) dan merugi (شقاوة), seperti dalam hadits Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas'ud, berikut ini:
إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِيْ بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمَاً نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الـْمَلَكُ فَيَنفُخُ فِيْهِ الرٌّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ. فَوَالله الَّذِيْ لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إلاذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا، وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَايَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إلا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا
Artinya:
"Sesungguhnya salah seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya di dalam perut ibunya selama 40 hari berwujud nuthfah (mani), kemudian menjadi alaqah (gumpalan darah) selama itu juga, kemudian menjadi mudghah (gumpalan daging) selama itu juga. Kemudian diutus seorang malaikat, lalu dia meniupkan ruh kepadanya, dan dia (malaikat tadi) diperintah untuk menulis 4 kalimat (perkara): tentang rezekinya, amalannya, ajalnya dan (apakah) dia termasuk orang yang merugi atau beruntung.
Demi Allah, Dzat yang tidak ada sesembahan yang haq selain Dia, sesungguhnya salah seorang dari kalian, benar-benar beramal dengan amalan penduduk jannah (surga) sehingga jarak antara dia dengan jannah itu tinggal sehasta. Namun dia didahului oleh al kitab (catatan takdirnya) sehingga dia beramal dengan amalan penduduk neraka, maka dia pun masuk ke dalamnya. Dan sunguh, salah deorang dari kalian beramal dengan amalan penduduk neraka hingga jarak antara dia dengan neraka tinggal satu hasta. Namun dia didahului oleh catatan takdir, sehingga dia beramal dengan amalan penduduk jannah, maka dia masuk ke dalamnya". (HR. Bukhari dan Muslim yang juga ada di Arba'in Nawawi).
Menurut penjelasan ulama' Maturidiyah (pengikut Imam Abu Manshur Al-Maturidiyah),
- Sa'adah (السعادة) yang artinya keberuntungan adalah: Agama Islam
- Syaqawah (الشقاوة) yang artinya kerugian adalah: Kufur
- Sa'id (السعيد) yang artinya orang beruntung adalah: Muslim (orang yang beragama Islam)
- Syaqiy (الشقي) yang artinya orang merugi adalah: Kafir (orang yang tidak beragama Islam)
Atas dasar pengertian itulah, ulama' madzhab Maturidiyah menyatakan begini:
- Orang yang beruntung (السعيد) kadang bisa merugi (الشقاوة) sebab dia murtad (keluar dari Islam).
- Orang yang merugi (الشقي) kadang bisa beruntung (السعادة) sebab dia beriman setelah sekian lama kafir.
Artinya, antara keberuntungan (السعادة) dan kerugian (الشقاوة) bisa berubah dan bahkan saling silih berganti. Akhir hidupnya lah yang menentukan. Hanya Allah Swt. lah yang mengetahuinya secara mutlak soal ini, secara Azali (sejak dari dulu tanpa permulaan). Azali Allah inilah yang tidak akan berubah, apalagi diganti total.
Menurut ulama Asya'irah atau Asya'irah (pengikut madzhab Imam Abul Hasan Al-Asy'ari):
- Sa'adah (السعادة) yang artinya keberuntungan adalah: Mati Beriman (الموت على الإيمان)
- Syaqawah (الشقاوة) yang artinya kerugian adalah: Mati Tanpa Iman (الموت على الكفر)
Dalam Azali Allah, kedua hal itu tidak bisa diubah atau diganti (ini ijma' ulama' ahlussunnah). Namun, karena konsep Sifat Al-Ilmu Allah menurut ulama Asya'irah memiliki ta'alluq (keterkaitan) dengan Sa'adah dan Syaqawah, maka, hanya Allah Swt. lah yang mengetahui beruntungnya seorang muslim di akhir hayatnya meskipun semasa hidupnya merugi, alias kafir. Begitu pula, hanya Allah Swt. saja lah yang mengetahui meruginya seorang kafir di akhir hayat walaupun semasa hidupnya dia beruntung, alias muslim. Manusia tidak ada yang bisa memastikan hal ini.
Dalam teologi ulama Asy'ariyah, tak seorang pun yang ditentukan Allah Swt. sejak Azali muslim tapi matinya kafir. Begitu pula, tak seorang pun yang ditentukan Allah Swt. sejak Azali kafir tapi matinya muslim. Sama sekali tidak ada dan tidak akan terjadi.
Bila para malaikat diberi pengetahuan catatan tentang qadla' (ketentuan Allah) yang muallaq (bisa diubah dengan doa), maka, di sisi-Nya, semua ketentuan-Nya adalah mubram (pasti terjadi). Tidak mungkin Allah mengubah ketentuan karena sifat Ilmu Allah itu Mutlak. Namun, kita manusia, tidak akan mengetahui mana qadla' yang muallaq dan mana yang mubram. Baca: Doa Mustajab Mukmin dan Kafir yang Terdhalimi.
Dari pemahaman inilah ulama' Asya'irah (dan Imam Syafi'i) menghukumi bolehnya mengucapkan kalimat "Saya Mukmin InsyaAllah". Ya itu tadi alasannya: semua ketentuan tentang السعيد dan الشقي hanya Allah Swt. yang mengetahuinya secara mubram (pasti terjadi). Kita tidak tahu. Ucapan "Saya Mukmin InsyaAllah" tidak lebih hanya lah sebuah harapan baik di akhir hayat. Sikap ini adalah tawadlu' dan bukan berarti ragu dalam beriman, tapi justru mengimani penuh bahwa semua ketentuan baik dan buruk hanya Allah sajalah yang berhak menentukan.
Bagi ulama Maturidiyah, Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad, ucapan itu tidak diperbolehkan. Alasannya, bila memang nyata-nyata beriman, ucapan seorang muslim haruslah mantap: "Yes, Saya Mukmin", tanpa tambahan "InsyaAllah". Bila masih ragu (شك) dengan iman sendiri, maka, menurut ulama' Maturidiyah, pengucapnya tidak bisa dianggap beriman dengan benar. Konsekuensinya, bila imannya masih diragukan, semua muamalah terkait hukum syariat seperti shalat, zakat, talak, sumpah, akad jual-beli menjadi batal dan tidak sah semuanya. Bukankah syarat pertama shalat, misalnya, harus beriman dulu? Begitu menurut ulama' Maturidiyah.
Lalu, mana yang benar? Kedua golongan ahlussunnah wal jama'ah itu, benar semua. Keduanya meyakini qadla' mubrom. Hanya saja, antar keduanya memiliki tafsir dan sudut pandang yang berbeda terkait redaksi kata السعيد dan الشقي seperti dalam hadits riwayat sahabat Abdullah bin Mas'ud di atas.
Ulama' Asya'irah benar karena memakai sudut pandang masa depan (نظرا للمأل) yang masih misteri. Sementara, ulama' Maturidiyah menggunakan sudut pandang kekinian, yang berlaku dan sedang terjadi sekarang (نظرا للحال), bukan yang akan terjadi, dimana hanya Allah Swt. saja lah Yang Maha Mengetahui. Wallahu a'lam. [badriologi.com]
Keterangan:
Artikel ini adalah bagian dari tambahan keterangan atas penjelasan Kitab Bad'ul Amali nadham ke-60 (Judul: Adakah Orang Kafir Shalih yang Masuk Surga?), yang disampaikan penulis di Majelis Ngaji Malam Kamis, di Mushalla Al-Firdaus, Ngabul, Tahunan, Jepara, 11 Agustus 2021.
Sumber kitab PDF:
- Nukhbatul La'ali PDF (hlm: 171-172)