Wakaf Tanah Kolektif. Foto: istimewa. |
Oleh M. Abdullah Badri
NADHIR DKM Masjid Baitus Sihat melihat perlunya perluasan lahan masjid dengan alasan, Jumatan makin ramai. Dia bersama pengurus lainnya mengadakan rapat. Hasil musyawarah memutuskan, tanah sebelah masjid harus dibeli. Luasnya 500 meter. Harga per meter 650 ribu. Jadi, dana yang dibutuhkan untuk pembebasan lahan sebelah masjid senilai Rp. 325 juta.
DKM Masjid Baitus Sihat melobi pemilik tanah. Pemilik sepakat melepaskan tanah tersebut untuk masjid. Dia mewakafkan 50 meter dari total 500 meter yang akan dibeli DKM. Jadi, pihak DKM hanya butuh Rp. 292.5 juta saja untuk dapat tanah seluas 500 meter. Pemilik tanah memberi tempo pelunaskan selama setahun kepada DKM.
Untuk mempercepat pelunasan, para ketua RT dan RW lingkungan Masjid Baitus Sihat dikumpulkan oleh pihak DKM. Melalui lingkungan, DKM meminta setidaknya ada 585 orang yang bersedia ikrar menjadi waqif (orang yang wakaf) untuk masjid dengan wakilnya: DKM. Karena komunikasinya baik, pihak RT dan RW sepakat bekerjasama dan berhasil mengumpulkan ratusan nama calon wakif yang siap ikrar memberikan hartanya untuk calon tanah wakaf masjid tersebut.
Agar ringan, pihak RT dan RW meminta sistem bayar angsuran Rp. 100 ribu/orang/bulan, dimana dana tersebut ditabung dulu ke rekening BMT (yang sudah dikerjasamakan pihak DKM). Butuh waktu lima bulan berturut-turut.
Tapi, dengan begitu, dana dari 585 orang (by name, by address: yang bersedia wakaf), akan terkumpul secara jama'i (kolektif) selama lima bulan. Lebih cepat dari permintaan pemilik tanah, setahun.
Setelah lima bulan, dari 585 orang tersebut ternyata ada yang menunggak belum membayar karena alasan masing-masing. Sebagai toleransi, pihak DKM memberi tenggat waktu dua bulan agar 100an orang tersebut segera melunasi ikrar wakaf kolektif tersebut dengan keikhlasan penuh.
Setelah 5 bulan ditambah 2 bulan masa toleransi, DKM akhirnya berhasil mengumpulkan dana senilai Rp. 292.5 juta. Tanah langsung lunas. DKM pun merespon dan bertindak cepat. Mereka mengajak pemilik hak tanah ke PPAIW. Akta ikrar wakaf diterbitkan. Urusan sertifikat tanah di BPN pun rampung. Clear. Konflik dan kecurigaan tidak ada. Jumatan pun makin khusyu'.
DKM senang, warga RT dan RW pun diberi kesempatan beramal wakaf dengan penuh transparansi, dan pihak Bank merasa diuntungkan mendapat suntikan tabungan dalam waktu 7 bulan terakhir. Inilah salah satu praktik lazim dalam wakaf kolektif di Indonesia.
Pertanyaan:
RSNU Jepara yang nadhirnya adalah yayasan (cq. ketua), praktiknya begitu atau tidak? Kalau tidak, secara fiqih, bagaimana hukum meminjam dana BMT berbunga riba untuk membayar tanah calon wakaf, lalu pelunasannya dibebankan dan dipaksakan secara kolektif kepada pihak-pihak yang tidak mengetahui persis rencana tersebut?
Untuk menjawab hukum syari'ah terkait wakaf kolektif ini, pihak LBM PCNU Jepara harusnya menggelar Bahtsul Masa'il terlebih dahulu sebelum panitia bergerak mencari dana atau sebelum "dikuasai" oleh pihak nadhir yang baru muncul di akhir setelah banyak sertifikat dijaminkan ke BMT.
Oh ya, apa LBM NU Jepara sudah pernah menggelar Bahtsu secara umum sejak Muktamar ke-34 di Bandar Lampung (2021)? Mboh lah. Bersambung ke judul: Bila NU Jadi Balbalan "Ora Sudi Urunan RSNU". [badriologi.com]