Oleh M. Abdullah Badri
TIDAK menyumbang, maksiat. Tidak hadir dalam taklim rutin, maksiat. Merokok, maksiat. Semua hal terkait dengan ketidaktaatan jama'ah, dimasukkan dalam bab maksiat kepada ulil amri. Itulah doktrin yang saya baca dari kelompok Khilafatul Muslimin (KM). Doktrin tersebut bisa dibaca di Majalah Al-Khilafah edisi ke-76 dan ke-78.
Bagi kelompok KM, taat kepada ulil amri adalah wajib mutlak, tidak bisa ditawar, dan pelanggarnya, dosa masiat. Surat An-Nisa ayat 59 adalah dalilnya, yang berbunyi:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ
Artinya:
"Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian". (QS. An-Nisa: 59).
Perhatikan, pada ayat di atas, kalimat اَطِيْعُوا (taatilah) disematkan kepada Allah Swt. dan Rasulullah Saw. Perhatikan lagi, perintah taat tidak disandingkan langsung ke kalimat اُولِى الْاَمْرِ (pemegang kekuasaan). Apa sirr nya?
Para ulama tafsir berpendapat, taat kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya bersifat mutlak. Sebab, Allah Swt. tidak akan memerintahkan keburukan kepada hamba-Nya. Begitu juga kepada Rasulullah Saw. Sedangkan ulil amri, yang menurut Nahdlatul Ulama' ditafsiri pemerintah, penguasa, atau pemimpin, ketaatan kepada mereka bersifat muqoyyad (dibatasi).
Artinya, selama ulil amri memerintahkan dengan baik dan benar, mereka wajib ditaati. Bila tidak, kembalikan urusannya kepada Allah dan Rasul-Nya (فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ), tanyakanlah dasar hukumnya dan hikmah-hikmahnya. Itu jika ingin membuktikan keimanan. Bila tidak perlu bukti iman, selesaikan sendiri dengan cara-cara sesuka sendiri. Begitulah kira-kira.
Khilafatul Muslimin jadi kelompok tidak sadar dan cenderung kepada paham radikal karena ta'wil mereka atas ayat tersebut tidak dirinci dengan baik. Ketaatan mereka bukan hanya buta, tapi berbahaya. Sebab, sekali saja tidak menghadiri majlis ta'lim, tidak menyumbang rutin, mereka berdosa kepada Allah dan Rasul-Nya. Pimpinan mereka pun akhirnya dianggap sebagai sebagai khalifah (pengganti) atas nama mandat dari Allah Swt.
Beda dengan warga nahdliyyin, ketaatan mereka kepada pimpinan tidak bersifat mutlak. Tidak hadir dalam Lailatul Ijtima' misalnya, ya tidak dihukumi maksiat. Paling-paling hanya dianggap malas, lesu, atau ada udzur. NU sangat slow menafsiri ayat di atas.
Karena itulah, sam'an wa tho'atan warga Nahdliyyin dimanapun tidak berisiko tertuduh maksiat seperti di KM. Jika mereka melihat ketidakberesan dari perintah ulil amri, melawan dengan tidak menuruti bukanlah sebuah aib. Kritik pun sudah biasa dalam dinamika gerakan orang-orang NU.
Sejak awal saya katakan, soal RSNU, modal beriman dan sam'an wa tho'atan belumlah cukup. Keduanya bisa shahih sebagai alat penggerak bila thariqahnya terbukti masih dalam irama sirothol mustaqim. Dalam konsep sam'an wa tho'atan, ada ruang gelap yang harus dicerahkan. Bersambung ke judul Meluruskan Syubhat RS(N)U Jepara dengan Tafakur Uqul. [badriologi.com]