Bila Gus Muallaf NU Dipanggungkan -->
Cari Judul Esai

Advertisement

Bila Gus Muallaf NU Dipanggungkan

M Abdullah Badri
Minggu, 29 Desember 2024
Flashdisk Ebook Islami

Jual Kacamata Minus
bila gus miftah dipanggungkan dan menghina bakul es teh
Ilustrasi Gus Muallaf NU. Foto: istimewa.


Oleh M. Abdullah Badri


AWAL September 2024 lalu, kebetulan saya mengikuti pengajian umum yang diselenggarakan oleh nadhir suatu masjid di Nalumsari, Jepara. Di tengah pengajian, masih di atas panggung, kiai penceramah menjelaskan tidak perlunya menghukum orang yang telah mengambil uang kotak masjid tanpa permisi. Kiai mengetahui kabar itu karena ada panitia masjid yang wadul kepadanya.


Infaq itu harusnya segera dimanfaatkan. Bila tidak, dan kemudian diambil orang yang lebih membutuhkan, ya jangan ditempohi. Barangkali dia memang sedang butuh uang untuk membeli susu anaknya, atau untuk biaya keluarganya yang kekurangan. Begitu kata kiai berhusnudzhon.


"Isine kotak ilang piro, kang?" Tanyanya ke salah satu panitia pengajian.


"Gangsalatus yi," jawabnya dari bawah panggung bagian depan. Kebetulan saya berada di samping kang-kang yang teriak lantang itu.


Tanpa dinyana, kiai meminta Bu Nyai untuk mengeluarkan isi tasnya, masih di atas panggung.


"Ini, tak kasi sejuta kang, langsung masukno kotak kas masjid yah," ucapnya. Kang berbaju putih itu pun ber-bungah, dan langsung menuju kotak masjid yang memang berada persis di sebelah panggung pengajian. Kiai memang sudah seharusnya kaya, biar bisa membantu. Begitu uraian yang saya ingat di siang Ahad waktu itu.


Banyak orang bercerita, kiai itu suka mentraktir para tamu yang sowan. Bila ada tukang bakso yang kebetulan berjualan di samping rumahnya, sering diborong habis untuk tamu. Rombongan tamu dua bus pun pernah diminta jangan pulang dulu sebelum wedus yang disembelih matang dimasak.


Pernah pula kiai memborong es pedagang yang lagi muter saat ngaji berlangsung. Atau, minimal disuruh berhenti jalan saat ngaji berlangsung, agar situasi ngaji enak kepenak. Begitulah adab mayor yang dipraktikkan para kiai di NU. Dari sini, kita mengetahui, bahwa kiai itu pasti tidak bernama Miftah, Habib atau Rohman. Bukan. Sama sekali bukan.


Yang saya tahu, kiai NU tidak narif seperti kebanyakan artis munsyid sholawat yang sepaket kadang sampai belasan juta, dan masih manja meminta fasilitas "ngandang" dan "jaran" pengawal. Kiai NU itu pelayan umat yang memandang umat dengan mata rahmat. Angel nemu kiai NU yang narif berceramah. Bagi nahdliyyin ndeso, hal itu sangat memberatkan. Bagaimana tidak, untuk menyelenggarakan pengajian saja, kadang mereka mengandalkan bantuan wong mati, dengan gelaran haul massal bertarif ikhlash. Wong mati pun bisa diseret untuk membangun rumah sakit, loh. Masamu ra iso? Iso.


Karena mengandalkan orang mati, wajarlah bila ada salah satu panitia yang kapok mengundang si gus lagi. Wis larang, isine misuh. Seperti di desa saya dulu, beberapa tahun lalu. Andai penyelenggaranya adalah struktural NU, saya bersikeras minta ganti dia. Tapi, jengene wong awam ndeso, yang dicari hanya popolaritas yang diundang, bukan mengenali kualitas isi ngajinya. Penceramah yang isinya berat dan kurang guyon, tidak banyak laku. Begitulah yang terjadi.


Dalam Nadham Bahar Wafir "Syafil Hall" yang belum rampung saya tulis semua syarahnya, saya mendokumentasikan sifat ulama' seperti ini:


إِذِ الْعُلَـمَاءُ مَنْ نَظَرُوْا لِأُمَّةْ ۝ بِأَعْيُنِ رَحْمَةٍ فَهُمُ الْعِــيَالُ


Terjemah:

"Karena ulama adalah mereka yang memandang kepada umat dengan mata rahmat. Umat adalah keluarga (bagi ulama')".


وَقَدْ حَفِظُوْا الدِّيَانَةَ بِالْعُلُوْمِ ۝ فَصَوْنُـهُمُوْ لِدَوْلَتِـهِمْ بَلَالُ


Terjemah:

"Dan sungguh, mereka menjaga keberagamaan dengan ilmu-ilmu. Dan sikap perlindungan mereka terhadap negara, terasa basah (cq. tidak diragukan)".


Barangkali, si gus tidak masuk kategori di atas. Dengan pedagang es saja tak sungkan menggoblokkan, bagaimana si gus tersebut memberdayakan negara dan bangsanya? Patut diragukan kapasitas pengabdian dan sanad ilmunya. Di NU, dia itu masih muallaf sebagai nahdliyyin. Jadi, dekne durung paham carane dadi kiaine wong-wong NU. Dia lebih mutqin (melekat) sebagai kiaine "kembang malam".


Sejak muncul dibela, saya merasakan: "ora ono ilmu sing iso dialap" darinya. Isine guyon, pamer mewah dan wah. Cangkeme ora quotable (angel dikutip), kecuali sing saru-saru. [badriologi.com


Keterangan:

Esai ini pertama kali dimuat di Facebook pribadi penulis pada 4 Desember 2024. 

Flashdisk Ribuan Kitab PDF

close
Iklan Flashdisk Gus Baha