Ilustrasi mahabbah salah tempat. Foto: istimewa. |
Oleh M. Abdullah Badri
MENCINTAI istri orang lain adalah "salah mencintai". Membenci suaminya karena istrinya tidak boleh Anda cintai, adalah "salah membenci". Sampai di sini, ungkapan "lebih baik salah mencintai daripada salah membenci" menemukan kritiknya.
Suatu kali, ada seorang laki meminta nasehat Kanjeng Nabi Muhammad Saw tentang amalan yang bisa membuat dia dicintai Allah dan manusia sekaligus. Dengan kalimat bernas, Beliau Saw bersabda:
ازهد في الدنيا يحبّك الله، وازهد فيما عند الناس يحبّك الناس
Terjemah:
"Jauhilah dunia, Allah akan mencintaimu. Jauhilah apa-apa yang dimiliki manusia, maka, manusia akan mencintaimu". (HR. Ibnu Majah).
Mafhum mukhalafahnya, bila Anda mencintai apa-apa yang dicintai orang lain, Anda akan dibenci olehnya. Sifat bawaan manusia itu pelit (wa ukhdziratil anfusus sukh). Orang lain cinta harta, jangan kau ambil. Orang lain suka jah (pangkat), jangan kau ambil. Orang lain suka wanita, jangan kau ambil. Dengan begitu, engkau akan dicintai.
Agar lebih dicintai, berilah mereka harta dan segala apapun kebutuhannya sesuai kemampuan. Taruhlah tangan di atas untuk mereka. Jangan tangan di bawah. Beri mereka ilmu dan hidayah, jangan hanya memberi mereka fanatisme dan rutinitas melelahkan saja.
Orang lain yang susah payah bekerja membanting tulang untuk keluarganya, janganlah kau datangi untuk kau minta hasilnya meski atas nama mahabbah. Sudah pasti engkau dibenci jika melakukannya, walau tak seberapa nilainya. Mereka punya istri, jangan kau minta ceraikan untuk kau nikahi jadi istri kedua. Pasti engkau terkena masalah. Buntutnya panjang.
Agar mahabbah tidak jatuh di lubang yang salah, mahabbah (mencintai) selain kepada Allah dan Rasul-Nya, memang harus dibatasi dengan syariat. Begitu pula yang dicintai, mbok yo ojo mekso. Saya jadi teringat ada kerabat yang mendadak meninggal karena selama sebulan full kesel nyupiri orang lain yang dia anggap "guru anyar" nya. Dibayar mboh ora, wallahu a'lam.
Seorang kawan tersiar terjangkit putus asa akut pasca diajak muter-muter oleh seorang udeng-udeng hingga dia dan keluarganya nampak terlantar. "Jangan kau tanyakan itu. Aku pusing. Istri dan keluargaku akan ku urus kelak di akhirat," ujarnya.
Di dunia saja terlantar, bagaimana di akhiratnya. Ungkapan tersebut adalah contoh puncak keputus-asaan dari cara salah mencintai orang lain. Sekali lagi, salah mencitai itu ada.
Kata orang-orang sufi, al-mahabbah dakhilun fir ridho (kerelaan ada dalam cinta). Bila putus asa terjadi disebabkan cinta, itu bukan cinta yang penuh kerelaan, tapi mukroh jahil murokkab (keterpaksaan yang bodoh bertingkat) akibat salah kamar penerapan.
Bagi saya, mahabbah kepada sesama makhluk adalah mablagh adab (capaian adab), the core of ethic. Janganlah mengkapitalisasi cinta orang lain dengan membuat cara, metode dan agenda agar mereka harus memberi segala sesuatu untukmu.
Main tunjuk "kau urunan wedus 5, kau siapkan bisyaroh 10 amplop, kau siapkan dua unit mobil," tanpa meminta kerelaan hati dulu dan kejelasan akadnya, itu perbuatan dhalim yang muttafaq alaih, wala mukhtalaf fih.
Ingatlah Abdurrahman bin Auf yang menolak tawaran Sa'ad bin Rabi menceraikan salah satu istrinya untuk dinikah Bin Auf setelah iddah. Bin Auf lebih memilih agar ditunjukkan pasar supaya dia bisa berdagang daripada menikahi salah satu istri Sa'ad. Meski Sa'ad melakukan hal itu atas nama mahabbah, Bin Auf tahu diri.
Maka, ngoco tah ngoco, ben gak ngaco! [badriologi.com]
Keterangan:
Esai ini pernah dimuat di Facebook pribadi penulis pada 23 Oktober 2024.