Ilustrasi manuskrip. Foto: istimewa. |
Oleh M. Abdullah Badri
BILA kita mewajibkan sejarah makam wali qoryah (wali kampung) harus bersumber manuskrip selamanya, maka, bersiaplah kepathen obor, dan akal bakal kesetrum mendengar kisah-kisah yang sulit dicerna karena sangat mungkin kisah itu bersumber dari demit-demit yang akalnya sekecil kelereng.
Kita harusnya paham bahwa literasi kertas pada 400-500 tahun lalu tidak ada, kecuali di kalangan sastrawan besar dan penguasa. Para Walisongo bisa dilacak jejaknya lebih lengkap karena mereka dekat dengan penguasa dan dekat pula dengan tradisi literasi di zamannya.
Walisongo berbeda dengan wali qoryah, yang di Jepara, profesinya beragam, laiknya rakyat jelata. Ada yang menjadi guru ngaji alif ba ta (guru TPQ), pedagang kecil (asongan), saudagar tengahan, petani miskin, pelaut, prajurit bawahan, pendekar kampung, pengrajin, tabib, pengembara (istilah sekarang perantau), mantan bos begenggek, didhalimi sepanjang hidup, dan lainnya, yang jelas jauh dari iklim akademis.
Bisa dipastikan, mereka yang dianggap sebagai cikal bakal di Jepara (yang muslim) memiliki iman sekuat baja kepada Allah dan Rasulullah Saw dan istiqamah. Ada diantaranya yang memiliki peran besar di eranya, tapi, tidak tercatat. Bahkan, ada sebagian kisah mereka seolah sengaja ditutupi oleh keturunan "musuh-musuh" nya, hingga sekarang. Adapula yang dibuat versi berbeda karena kisahnya dianggap bakal membangkitkan semangat perlawanan atas penjajahan untuk generasi setelahnya.
Akhirnya, kisah para wali qoryah (punden-punden kampung) hanya bisa direkam oleh mulut generasi ke generasi secara tutur tinular. Pada tahapan tertentu, kisah mulut mereka mengalami erosi atau penyempitan, hingga -bukan tidak mungkin- terjadi tahrif (penyimpangan). Muncullah kisah dengan versi yang sama sekali berbeda. Siapa yang duluan membuat versi, akan diterima "opo anane". Versi berikutnya, ditolak. Tahrif sangat besar terjadi untuk makam yang namanya diganti tanpa kisah pelengkap, kecuali silsilah karangan saja.
Begitulah yang terjadi. Walau bukti kisah mereka ada, tapi bila sumber manuskrip dianggap nihil oleh akademisi, kisah mereka ditolak. Demi menuruti manuskrip, kisah-kisah wali di Jepara ada yang disusun ulang oleh penulis buku legenda wali dengan mengait-ngaitkan nama-nama yang terdapat di manuskrip antah berantah. Padahal, bila dibaca, tulisannya jauh dari bukti peninggalan para pepunden yang ada dan bisa dilihat mata, kini.
Akibat lain, kisah wali-wali pun dipaksa harus dikaitkan dengan kerajaan, perang, utusan Arab, kesayyidan, dan kesaktian menaklukkan bongso alus yang terkesan tak terkalahkan. Padahal, banyak wali yang matinya syahid, kelaparan, hidupnya lemah, miskin, dan karena itu, mereka disayang Allah Swt.
Ironisnya, para peziarah kadang meminta doa cepet sugeh dengan tawassul kepada wali yang hidupnya dulu sangat melarat. Keyakinan bahwa "kabeh wali sugeh lan sakti", hampir merata di kalangan sarkubiyyun yang suka membangun makam. Sehingga, saat tawassulan di makam, semua nafsu keinginan duniawi ditutur cerewet dalam doa panjang hingga 1-2 jam. Malaikat sampai bingung nyangking dungane.
Hanya kalangan terbatas dan mengenal saya secara harian lah yang mengetahui cara saya menorehkan kisah-kisah wali di Jepara. Metodenya pernah diungkap oleh Syaikh Abdul Wahab As-Sya'roni. Tapi, akademisi manuskrip bakal menyoal. Andai Mbah Sobib Menganti masih hidup, apakah Anda akan bertanya, "mana mbah sumber manuskripmu tentang kisah wali di makam yang kau ceritakan itu?". [badriologi.com]