Makam Mbah Buyut Malang Kusumodirjo, Pecangaan Kulon, Jepara. Foto: dok. pribadi. |
Oleh M. Abdullah Badri
DI zaman Den Jolang Hanyokrowati (yang berkuasa di Mataram Islam pada 1601-1613 M), Sayyidah Gambirah binti Usman, seorang pendekar murid Ki Jogoboyo Retno Manggalih, diutus untuk mengejar buron perempuan. Sepanjang perjalanan, dia menyamar.
Sesampainya di Kaligelis Kudus, dia bertemu dengan Kusumodirjo bin Kartodipo dan oleh Gambirah, dia dimuallafkan. Karena cantiknya seperti artis Preity Zinta, Kusumodirjo tertarik menikahi Gambirah. Perjalanan mencari buron, tidak dilanjut.
Dua pasang pengantin itu -yang satu muallaf dan satunya sayyidah, sulit hidup di Kudus karena mereka tidak punya sapi untuk membajak. Mereka berjalan menuju Jepara, mencari lahan tani yang jlapar (datar), luas, dan tanahnya gembur (pero).
Dulu tanah itu adalah bekas rawa-rawa. Jadi, strukturnya memang sangat gembur. Begitu tanah ambles, sikil ora iso polah. Pohon besar cepat tumbang. Tapi subur ditanami padi. Di sinilah Ki Sumo dan Nyai Gambirah membangun hidup baru, dengan bercocok tanam padi dan membangun gubuk kecil-kecilan.
Lama-lama, lahan padinya yang tumbuh didatangi manuk Kunthul. Burung itu memiliki leher dan kaki yang panjang. Sekali ndangak, semua dataran padi kelihatan. Disebutlah sebagai Burung Cangak, dari kata ndangak. Jadilah daerahnya sebagai Cangaan, sekarang Pecangaan.
Karena tanahnya subur, orang-orang berbondong ingin menjadi tetangga Ki Sumodirjo di Cangaan. Ada yang ikut tandur dan macul, ada pula yang mohon ijin mendirikan gubuk rumah di sana. Mereka diijinkan tinggal di Cangaan oleh Ki Sumo, dengan satu syarat: mau bersyahadat. Bila tidak, silakan cari tempat lain.
Syarat tersebut diusulkan oleh Kiai Sani Barkah, Troso (dikenal Mbah Senu), begawan ahli tani dari Mataram Islam yang sudah dianggap guru oleh Ki Sumo. Dialah yang pernah diberi makanan favorit Ki Sumo, emplek-emplek. Kiai Sani Berkah adalah adik Kiai Warsito, yang dikenal sebagai Mbah Sikangkrang, Kerso.
Mbah Sikangkrang inilah satu-satunya orang yang ikut selamat ketika kapal Datuk Singorojo pecah di laut dan terpaksa bertahan dengan gentong hingga sampai di tepi laut Semat Jepara.
Untuk mencegah banjir bandang dari daerah sekitar, Ki Kusumo bersama warga bergotong royong (kerigan) membangun gundukan tanah tinggi. Disebutlah sebagai Gunung Kerigan. Bukan kerinan yah.
Adapun Nyai Gambirah berperan sebagai guru ngaji agama bagi warga Cangaan dan Troso. Setahun sekali, dia diberi selembar kain tenun Troso oleh Kiai Sani Barkah sebagai bisyaroh.
Ki Kusumo meninggal Jumat Manis Bulan Apit. Nyi Gambirah Selasa Wage, 3 Suro. Dia dimakamkan bersama kedua anak laki-lakinya, Joko dan Leksono. Karena kuburannya agak nyerong kiri, dengan mudahnya, orang-orang menyebutnya makam tersebut sebagai Mbah Buyut Malang. Saat itu, arah kiblat memang belum mapan teknologinya.
Demikian sekilas kisah Mbah Kusumodirjo dan Mbah Gambirah. Kisah agak lengkap sudah saya tuliskan ke Petinggi Pecangaan Kulon sekarang, tapi, mboh gene belum terbit. [badriologi.com]
Keterangan:
Tulisan ini pertama kali dipublish di akun Facebook pribadi penulis pada 28 Desember 2024.