Makam Kiai Majan Sari Sengon Bugel, Mayong, Jepara. Foto: istimewa. |
Oleh M. Abdullah Badri
TIDAK banyak orang mengenal Kiai Majan Sari, Sengon Bugel, Mayong, Jepara. Sejarahnya terlalu jauh dilacak dan menggelap, seperti gelap makamnya yang tidak diterangi lampu malam saat saya ziarah ke sana, beberapa hari lalu.
Nama aslinya adalah Sumorejo. Dia anak keempat (terakhir) dari pasangan Ki Karto Rajikan dan Nyi Pertiwi. Dia kelahiran asli pribumi Mayong, yang dulu masuk wilayah administratif Kudus. Kakaknya bernama Ratemi, Majan dan Rasmo.
Pada usia 35 tahun, Sumorejo muda menikahi perempuan 17 tahun keturunan Tiongkok bernama Yan'e binti Kien Pang (biasa dipanggil Kepang). Dari pernikahan ini, Sumorejo memiliki dua anak yang berketurunan, yakni: Ahmad Sholeh dan Sulastri. Anak ketiganya wafat 8 bulan di kandungan, dan diberi nama Nur Hasanah. Sayangnya, kedua anaknya yang hidup itu lebih memilih mengikuti neneknya ke Tiongkok dengan tetap dibekali syahadat.
Setelah menikah, Yan'e memiliki nama Jawa: Dayang Sari. Dia memiliki keluarga besar di Welahan, dengan leluhur saudagar terkenal bernama Tihong, penyokong dakwah Kiai Rifai Ujungporo juga. Tihong inilah yang mensupport Nyai Yan'e menyulap area persawahan kala itu menjadi taman yang ditanami Pohon Mojo.
Nyai Yan'e Dayang Sari biasa memanggil teman-temannya sesama keturunan Tiongkok untuk bermain Mayong ke taman tersebut. Sesekali Kiai Sumorejo memberikan materi pengajian kepada emak-emak Tiongkok di taman penuh pohon Mojo itu. Baca: Sejarah Mbah Bulus Karsono Bulungan - Pelindung Desa dari Ndas Kuning Portugis.
Orang-orang kemudian lebih mengenal taman tersebut sebagai Taman Dayang Sari. Artinya, taman Bu Nyai Dayang Sari, alias Yan'e. Karena banyak pohon Mojo di sana, taman itu juga dikenal sebagai Majan (tempat banyak pohon Mojo). Daerahnya pun disebut sebagai Mayong, karena dulunya, di taman itu, permainan khas Tiongkok Mahyong, dimainkan.
Kiai Sumorejo pun dapat julukan Mbah Majan Sari. Artinya, kiai danyang desa yang hidupnya di taman mojo, dan merupakan suami dari Bu Nyai Dayang Sari. Selain itu, Kiai Sumo memang memiliki saudara kandung bernama Majan. Klop lah nama yang disematkan oleh masyarakat sekitar Sengon Bugel. Jangan dikasi gelar al bin, al bin, yah. Cetho pribumi.
Tiap malam Jumat, Kiai Sumorejo Majan Sari menggelar ngaji bersama para muridnya. Meski berthariqah Naqsyabandiyah, murid yang jumlahnya naik turun 60an orang itu hanya diajari syariat dan akhlak. Senjatanya bukan kanuragan, tapi akhlak. Dan semua ilmunya didapatkan secara ngalong (ngelongi ilmune guru) selama 20an tahun muter ke banyak guru hingga kakinnya kapalan tebal.
Di usia senja, Datuk Gurnadi Singorojo asal Bali sering sowan ke Mbah Sumorejo Majan Sari untuk berkonsultasi terkait cara menghadapi masyarakat Jepara yang tentu saja berbeda dari masyarakat Bali. Kiai Warsito Sikangkrang juga sering datang membawa burung Pleci untuk dibeli oleh Kiai Sumorejo atau Tihong.
Usai ngaji hakikat tentang Nur Ilahi dan Nur Muhammad, Kiai Sumorejo Majan Sari sowan ila rohmatillah pada Sabtu Wage Jumadil Akhir. Saat itu, usianya 85 tahun. Makamnya berdampingan dengan istri terkasih, Nyai Dayang Sari atau Yan'e.
Demikian sekilas tentang waliyullah Mbah Sumorejo Majan Sari, Sengon Bugel, Mayong. Kisah lengkapnya, insyaAllah ada buku khusus "Jejak dan Kisah Wali di Jepara". Baru 420an halaman. Paling banyak jejak Datuk Jokosari Ngabul dan murid-muridnya. [badriologi.com]
Keterangan:
Artikel ini tayang pertama kali pada 17 Desember 2024, di akun Facebook pribadi penulis.