Tumenggung Cendol Margoyoso, Pewaris Ilmu Ki Ageng Selo -->
Cari Judul Esai

Advertisement

Tumenggung Cendol Margoyoso, Pewaris Ilmu Ki Ageng Selo

M Abdullah Badri
Kamis, 30 Januari 2025
Flashdisk Ebook Islami

Jual Kacamata Minus
makam tumenggung cendol di margoyoso jepara
Kompleks makam Tumenggung Cendol di Margoyoso, Kalinyamatan, Jepara.


Oleh M. Abdullah Badri


TUMENGGUNG Cendol yang dimakamkan di Margoyoso, Kalinyamat, Jepara, lahir di daerah bukit Gunung Merapi, Yogyakarta. Nama aslinya adalah Rekso Karsono. Ayahnya bernama Karyo Duwiryo. 


Dia keturunan Ki Ratimah, laki-laki murid Kiai Ageng Selo yang terkenal ilmu petirnya itu. Mungkin, karena faktor genetik ini, sejak kecil Rekso Karsono memiliki ilmu petir seperti Ki Ageng Selo. 


Saat hijrah ke Jepara, Rekso Karsono menikah dengan Nyi Rasimah. Darinya, dia memiliki tiga orang anak: Gandik, Kanthil (syahid terkena barang bunder Belanda) dan Kencono. 


Karena dia memiliki ilmu kendali petir dan pasukan perang yang banyak, dia didaulat sebagai Tumenggung, jabatan setara Bupati bukan dari keturunan bangsawan. Dia menggantikan pemerintahan Jepara sementara, tepatnya ketika Adipati Citrosumo VI sedang bertugas sebagai bupati di Tuban. Dia kakak dari Mbah Citro Joyo Kusumo, Lebuawu, Pecangaan. 


Saat menjadi Pj. (penjabat) Bupati di Jepara, Rekso Karsono mulai hidup makmur. Dia suka dibuatkan minuman dari daun cendol. Anak terakhirnya, Kencono, sering dimintanya kulakan daun cendol ke Pati. 


Saking sukanya dengan cendol, Rekso Karsono mendatangkan juru masak khusus cendol dari Corebon. Namanya Nyi Sukinah. Mulai saat inilah, namanya mulai dikenal luas dengan sebutan Tumenggung Cendol. 


Guru agamanya bernama Kiai Srigi. Darinya, Tumenggung Cendol mendapatkan amalan shalawat Nariyah untuk mengendalikan petir dia ketika emosi. Untuk menghaluskan hatinya agar tidak marah, Kiai Srigi memintanya supaya khatam membaca Al-Qur'an 40 kali. 


Belanda sangat takut atas ilmu petir Tumenggung Cendol. Sekali tangan dikibas, petir bisa membuat pasukan Belanda morat-marit. Sayangnya, karena tak terkontrol, petir bisa mengenai pasukannya sendiri. Nariyah jadi pengendali. 


Suatu kali, perang Jawa meluas ke Jepara. Atas saran Kiai Srigi, pasukan Tumenggung Cendol diminta meniru strategi perang parit ala Rasulullah Saw. Mereka membuat kalen kedukan untuk menghalangi Belanda masuk Jepara. 


Kalen itu kini disebut Cipluk. Itu bukan kali asli. Makanya, ketika musim kemarau, sungai mengalami kekeringan. Tak ada sumber mata air permanen di sana. 


Mbah Rekso Karsono hanya menjabat Tumenggung selama 2,5 tahun (1825-1828). Dia syahid pada Jumat di tengah membaca Al-Qur'an di langgarnya, dikepung Belanda, dan pasrah seperti Sayyidina Utsman. Dia tidak lagi menggunakan petir melawan Belanda demi mengamankan pasukan sendiri. 


Ketika pemakaman, jenazahnya sulit dibawa ke lokasi karena petir penyambar-nyambar tanpa henti. Hingga kini, kompleks makamnya kadang dipenuhi petir saat musim hujan datang. 


Kisah selengkapnya, sudah saya tulis di "Buku Kisah dan Jejak Wali di Jepara". Belum terbit. Hari ini baru mencapai 483 halaman. [badriologi.com]

Flashdisk Ribuan Kitab PDF

close
Iklan Flashdisk Gus Baha