![]() |
Makam Datuk Subuh Sutomargo, Jepara. Foto: dok. pribadi. |
Oleh M. Abdullah Badri
IBADAH paling disukai Allah Swt dan paling memustajabkan doa ialah shalat Subuh. Itulah yang selalu diulang-ulang oleh Kiai Sutomargo bin Muhammad Ja'far kepada para jama'ah di langgarnya.
Karena itulah, dia dikenal sebagai Kiai Subuh, yakni kiai yang selalu berpesan tentang pentingnya shalat Subuh. Dipanggil datuk karena dia asli Aceh. Istri bernama Cut Mandar, masih keturunan Suku Mandar. Anaknya bernama Joko Umar Said, dijuluki Joko Cemplong.
Istri Cut Mandar adalah seorang pelaut handal yang suka menjelajah Samudra. Dia pernah sampai di laut Sunda Kelapa, tapi, karena salah arah, dia balik lagi ke Aceh.
Kejadian salah arah melaut terulang kembali, dan sampailah di pesisir laut (teluk) yang kini sudah hilang, dan dinamai Sidigede. Sejak di Jepara, Sutomargo dan istri tidak kembali ke Aceh.
Dia hidup sebagai petani tambak payau dan petani ketela. Salah seorang bakul ikannya adalah Ki Joko Tirto bin Jumeneng, suami Mbah Jijah (Azizah), asal Karimunjawa. Makam keduanya tidak tarawat.
Untuk dakwah, Datuk Subuh membuat langgar. Seiring waktu, muslimin setempat banyak yang merapat dan ngaji kepadanya. Diantara muridnya adalah Umaruddin, alias Joko Telo. Makamnya ada di Gunungmulia, Juwana, Pati.
Bila menemui kesulitan materi ngaji, Datuk Sutomargo datang ke Ngabul bertanya kepada Datuk Jokosari sembari membawa ikan segar untuk dimasak santri-santri di Ngabul.
Datuk Subuh wafat di Bulan Safar waktu Lintang Panjer Sore usai Jumatan. Demikian sekilas tentang jejak Datuk Subuh.
Kisah lebih lengkap saya tulis di Buku "Jejak Kisah Datuk Jokosari" dan Buku "Kisah dan Jejak Wali di Jepara". Wallahu a'lam. [badriologi.com]
