![]() |
Makam Kiai Joyo Rekso Laduni, Karangkebagusan, Jepara Kota. Foto: dok.pribadi. |
Oleh M. Abdullah Badri
MBAH Laduni yang dimakamkan di Karangkebagusan Jepara Kota, asli Tuban. Dia memiliki nama lahir Joyo Sugino. Sejak menjadi abdi nagari khusus ngisik-ngisik keris Keraton Kalinyamat, dia dijuluki Joyo Rekso Laduni.
Dijuluki Laduni sebab dia memiliki kecerdasan tinggi. Sekali dengar, dia mudah hapal tanpa harus mengetahui teks tertulisnya maupun artinya. Disinyalir, Mbah Laduni hapal Al-Qur'an. Teman sema'an Qur'an adalah Kiai Amir Hasyim (Mantingan) dan Datuk Jokosari Ngabul.
Sebagai abdi keraton, Kiai Laduni tidak mudik ke Tuban kecuali di Bulan Shafar saja, tepatnya setelah ritual ngumbah gaman waktu tutup wulan di Bulan Muharram, dan setelah dia mendapatkan bonus gaji ketigabelas (istilah sekarang).
Saat mudik ke Tuban di tutup wulan itu, dia biasa membawa murid-murid ukir Kiai Telingsing untuk merenovasi rumah mewahnya. Kala itu, Kiai Telingsing yang asli keturunan Cina mukim di bawah Pesanggrahan Ratu Kalinyamat untuk mengajar ukir kepada penduduk setempat.
Dari aktivitasnya ngelus-ngelus gaman, Kiai Laduni dapat upah 2 iket koin emas tipis setiap bulan. Pecahan ini disebut ndil atau rece. Senjata keraton memang harus dijaga sekaligus dibersihkan setiap saat. Bila musim perang tiba, senjata itu bakal sangat berguna untuk semua prajurit.
Di masa perang, Kiai Laduni tidak mempunyai aktivitas berbulan-bulan di kantornya, Winangunan. Saat inilah dia sering main atau ngaji ke Astana Mantingan yang saat itu diasuh oleh Kiai Amir Hasyim, suami dari Nyi Juminah, saudagar property dan eksportir pangan yang dipercaya Nyai Ratu Kalinyamat.
Banyak kiai di Jepara yang kagum atas ilmu Kiai Laduni. Meski tidak ngaji kecuali kepada seorang kiai di Demak bernama Alim Hamzah, ucapannya selalu sesuai dengan kenyataan, dan mudah hapal setiap informasi yang dia dengar.
Tanpa dalil, hatinya juga mudah membaca mana yang haq dan mana yang batil. Mungkin ini berkah ibunya, Nyi Lasmi, yang saat Laduni masih di kandungan, pernah ditirakati puasa 150 hari dan berendam di sungai selama 15 hari, sejak tengah malam hingga Subuh.
Salah satu keistimewaan Kiai Laduni yang lain adalah kemampuannya membaca aksara Arab tanpa berguru. Dia juga mampu membaca tanda dan firasat, yang di eranya, sangat dibutuhkan, akibat terbatasnya informasi.
Si sakit yang terus mengeluh tanpa sabar misalnya, itu adalah tanda bahwa dia pernah merugikan orang lain dengan perbuatannya. Kemampuan laduninya pernah dimanfaatkan secara salah oleh sejawatnya sesama abdi keraton. Namanya Ki Rempeh, tukang resik-resik kebon. Ki Rempeh dimakamkan di Tulakan.
Sebetulnya, setiap orang akan mendapatkan ilmu laduni. Kapan? Sejenak sebelum ajal dijemput malaikat. Kiai Laduni wafat malam Jumat Bulan Windu bukan di Tahun Nagari, tapi di tahun Jawa Islam.
Kisah lengkapnya, silakan baca nanti di buku saya "Kisah dan Jejak Wali di Jepara" atau buku "Jejak Datuk Jokosari Ngabul". Yang terakhir sudah terbit. Artikel ini hanya cuplikan dari isi buku itu. Wallahu a'lam. [badriologi.com]
